Monday, July 24, 2017 | 4:02 PM

Gang Haji Tabong


Gapura dan plang nama Gang Haji Tabong itu sudah dirobohkan. Penyebabnya, ada perbaikan saluran air yang terletak tepat di pintu masuk di Gang Haji Tabong, yang terletak persis di Jalan Palmerah.

Gapura itu berbentuk dua pilar dari beton dan ada atap dari genteng. Tampaknya, gapura dibuat untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, tapi entah yang keberapa. Tapi  yang jelas,  Ketua RT yang  membangun gapura Bang Rizal, sudah meninggal.

Soal nama Haji Tabong, entah siapa relawan yang berbaik hati menyematkan nama tersebut. Namun itu bukan nama lengkap, hanya nama panggilan. Sudah lazim di masyarakat Betawi selalu ada nama panggilan. Misalnya, Muhammad disapa Mamat. Atau Masyhud dipanggil Caud.

Nah, Tabong yang menjadi nama gang itu, bernama lengkap Mujitaba. Dia berprofesi sebagai tukang jahit di masa penduduk Jepang. Rumahnya persis di pintu masuk ke  Gang Haji Tabong itu. Rumah itu sekarang ditempati oleh menantunya, Hajah Aisyah,  bersama anak dan cucunya.

Melihat profile-nya, tampaknya Haji Tabong tergolong cukup berada. Misalnya, dia pernah mengajak anak-anaknya untuk berfoto bersama di sebuah studio foto milik pengusaha Cina di Tanah Abang. Jangan heran, mengajak berfoto ke studio foto  tidak bisa dilakukan semua  orang kala itu,  sekitar tahun 1930-an. Bisa dibilang, yang berfoto itu orang berada.

Saya punya foto Haji Tabong bersama isteri dan anak-anaknya. Dalam foto hitam putih itu, Haji Tabong duduk bersebelahan dengan isterinya, berpeci dan memakai sarung. Sementara keempat anak-anaknya berdiri. Menurut salah seorang anaknya, almarhumah Hajah Siti Aisyah (sementara yang diceritakan pada alenia keempat adalah menantunya), foto itu diambil sebagai rasa syukur atas kesembuhan dirinya dari sakit. Kala itu Hajjah Siti Asiyah berusia 6-7 tahun.

"Kami sekeluarga berangkat ke Tanah Abang naik delman, dari depan rumah di Kemanggisan ini," kata Hajjah Siti Aisyah, yang pernah berkisah pada penulis, sekitar tahun 2002. Oya, kala itu, wilayah Palmerah masih masuk dalam wilayah Kemanggisan.

Menurut anaknya, Haji Tabong suka makan di luar rumah. Mungkin kalau sekarang kulineran. Jika makanan di rumah tak berkenan dengan seleranya, dia akan pergi ke warung makan. Yah..maklumlah, dia cukup berada. Itulah sekelumit kisah Haji Tabong alias Mujitaba, yang kini jadi nama gang masuk ke rumah saya.                

Image hosted by Photobucket.com

0 comments

Tuesday, June 09, 2015 | 6:28 PM

Bengkel Sepeda "Kliwon Jaya"


Hobi bersepeda mulai menggeliat di sebagian masyarakat ibu kota. Maklum, jalanan di Jakarta sudah macet parah sekarang. Apalagi sejak proyek MRT (Mass Rapid Transportation) dibangun, kemacetan benar-benar tak kenal ampun. Nah, sepeda bisa jadi salah satu alternatif moda transportasi. Meski para pengguna sepeda, yang juga sering disebut  "bike to work" , harus benar-benar waspada akibat jalanan Jakarta yang tidak ramah kepada pengguna sepeda dan pejalan kaki.

Bicara soal sepeda, tak bakal lepas dari keberadaan bengkel sepeda. Di seputaran Kemanggisan dan Palmerah, ada sekitar lima sampai enam bengkel berdiri. Dari yang besar (punya tempat sendiri)  hingga yang kecil (buka lapak di tepi jalan). Saya akan menceritakan salah satu yang menjadi langganan saya, yang ada di Pasar Bintang Mas, yakni Bengkel Sepeda "Kliwon Jaya". Lokasinya berada di sudut pasar, berhimpitan dengan tukang ikan. Sang pemilik lelaki bertubuh tambun yang biasa disapa Ali.

Ali meneruskan usaha bengkel dari ayahnya,yang kini sudah pensiun dan tinggal di kampung (di Jawa Tengah). Ali sendiri sudah punya rumah di kawasan Palmerah, tak jauh dari bengkelnya. Sebelum buka usaha bengkel, Ali bekerja di perusahaan swasta. Entah mengapa dia banting setir meneruskan usaha sang ayah, jadi tukang bengkel sepeda.

Ali buka bengkel nyaris setiap hari, kecuali Jumat. Pada Sabtu dan Minggu seringkali konsumen Ali membludak. Dia tutup di Hari Jumat, terutama hingga menjelang sholat Jumat karena tidak ingin menganggu waktu ibadah.

Dalam banyak kesempatan, dia sering mengeluh tentang usaha bengkelnya. "Sekarang nggak kayak dulu. Usaha bengkel sepeda sepi," katanya. Dia menggambarkan, untuk sekali perbaikan yang memakan waktu sampai satu jam, paling mahal ongkosnya Rp30 ribu. "Ditambah badan kotor," katanya sambil tertawa,

Namun Ali meneruskan usaha sang ayah bisa dibilang model dengkul dan minus kemampuan. Dia meneruskan begitu saja usaha sang ayah. Tanpa pelatihan terlebih dahulu. Tapi hasilnya tidak mengecewakan. Ali tipikal tukang bengkel yang tidak mau diburu-buru. Dia bisa menolak konsumen yang datang menjelang maghrib, sebab hari sudah larut. Namun ketekunannya dalam menservice sepeda, lumayan bagus. Sepeda yang dinilai belum bagus saat dibetulkan, tak segan dia bongkar ulang. Semuanya demi kepuasan konsumen.Karena itu konsumen pun harus sabar saat membetulkan sepeda di sana.

Ada satu hal yang terbilang unik dari Ali. Dia salah seorang pengikut jamaah atau pengajian para habib, seperti Jamaah Majlis Rasulah dan sejenisnya. Sering juga dia berkunjung ke makam para habib yang ada di Jakarta, seperti  makam Habib di Luar Batang,Jakarta Utara, atau makam Habib Kuncung di PAsar Minggu, Jakarta Selatan. "Masing-masing habib punya keistimewaan," ujarnya.

Salah satu contoh yang disebutkan Ali adalah Habib Kuncung.Ketika masih hidup, kabarnya, habib ini tidak puasa. Oleh anak buahnya ditanya, "Bib, kenapa tidam puasa?".Habib Kuncung menjawab, "kalau saya puasa, saya tidak tega," katanya sambil membuka mulutnya. Ternyata di dalam mulut habib tampak puluhan ikan hidup sedang membuka menganga.

Ya, percaya atau tidak silakan saja. Tapi Ali yang sangat suka ke acara pengajian mempercayainya. Karena sering ke pengajian itu, membuat bengkel Ali sering didatangi juga oleh kawan-kawannya yang juga sesama pengikut pengajian habib. Sambil membetulkan sepeda, obrolan itu pun mengalir. Ali gambaran warga yang setia dengan profesinya, di tengah serba keterbatasan dan persaingan hidup ibu kota yang makin keras. 

   

            

Image hosted by Photobucket.com

0 comments

Sunday, July 27, 2014 | 10:33 AM

Sedap Malam di Malam Lebaran


Pasar Kembang Rawa Belong sudah terkenal di Jakarta. Para pecinta bunga potong akan menyambangi pasar yang berada di Jalan Sulaeman, di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat ini. Selain tempatnya lumayan nyaman, halaman parkir luas, juga bunga yang dijual lumayan lengkap seperti melati, krisan, dan yang paling banyak diburu di malam lebaran adalah bunga sedap malam.

Ternyata ada kisahnya, mengapa warga  Betawi sering membeli sedap malam setiap menjelang Lebaran. Konon, sebenarnya ini tradisi China atau Belanda. Tapi, sebagai warga yang terbuka, masyarakat Betawi sudah terbiasa mengadopsi budaya-budaya luar dan dicampur dengan budaya setempat.

Tidak heran bila setiap menjelang Lebaran, Rawa Belong menjadi sasaran warga yang ingin membeli sedap malam. Sejak malam bahkan dinihari warga sudah mendatangi pasar tersebut. Harga kembang ini terus naik seiring dengan hari makin larut. Jadi, bila membeli di pagi hari masih agak murah. Harga akan merangkak naik seturut hari menjelang sore dan malam hari. Semakin malam semakin mahal. Tapi begitu memasuki subuh, atau beberapa jam menjelang sholat Idul Fitri harga kembali turun.

Sedap malam yang dijual di Rawa Belong biasanya diambil dari Cipanas atau Bandung, Jawa Barat. Wanginya yang semerbak memang menjadi tanaman favorite setiap rumah tangga. Wanginya kembang ini memang tidak akan tercium saat di ruang terbuka, apalagi bila belum banyak yang berkembang. Namun saat sudah di bawa ke dalam ruangan semerbaknya akan menyengat. Menurut para pedagang, wangi dan kekuatan bunga sedap malam bertahan hingga empat hari. Jadi lumayanlah, untuk memberi kesegaran kepada para tamu di hari raya.

Image hosted by Photobucket.com

0 comments