Wednesday, November 29, 2006

Dewi Kanti

Apakah artinya agama resmi? Indonesia hanya mengenal lima agama yang diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Di luar itu semua bukan agama resmi. Dalam istilah lain, agama "ilegal". Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tidak mencantumkan agama resmi patut dicurigai, setidaknya oleh para birokrat. Akibatnya, mereka yang menganut agama kejawen, kepercayaan atau konghuchu harus gigit jari, sebab terbuang dari komunitas yang diakui oleh pemerintah. Bukan hanya itu, langkah ini sering berlanjut pada tindakan diskriminiasi, sebab para penganut agama "tidak resmi" itu tidak memperoleh dokumen kewarganegaraan yang semestinya seperti surat nikah, kartu keluarga (KK) sampai surat lain yang dibutuhkan.

Dewi Kanti adalah salah satu contohnya. Sebagai penganut agama kepercayaan Sunda Wiwitan, dia harus berjibaku dengan petugas catatan sipil Kabupaten Kuningan (Jawa Barat), gara-gara dia ingin menikah dengan cara leluhur menikahkan mereka. Padahal sang suami, Okky Satrio yang Katolik tidak keberatan dengan permintaan Dewi. Beberapa tokoh agama lain pun seperti Islam, tidak mempersoalkannya.

Beruntung kini Dewi sudah menikah. Aku bertemu dengannya dalam salah satu acara dialog keagamaan di gedung Jakarta Media Centre (JMC) awal tahun 2006. Dia bukan sebagai pembicara, tapi tampil sebagai juru kawih bersama kelompok kecapi Cianjuran yang dia pimpin. Setelah ngobrol di akhir acara, dia memberi alamat rumahnya. Rupanya, dia tetangga sebelah. Hanya beda RW, tapi masih dalam satu kawasan di Kemanggisan bahkan jaraknya dengan rumahku tidak begitu jauh.

Dewi tinggal di kawasan padat penduduk, tak jauh dari warung Encum yang terkenal dengan nasi uduk dan soto Betawinya. Bersama suami, keduanya menjalani hidup sebagai wiraswasta. Dewi memang belum berani menampakkan identitasnya sebagai penganut kepercayaan. Tapi, bila dibutuhkan, dia akan mengakuinya.

Lingkungan tempat aku dan Dewi tinggal adalah kawasan yang didominasi oleh warga muslim. Mushola dan mesjid mendominasi di sana. Meski tetanggaku sebenarnya lebih banyak warga keturunan Cina yang beragama Katolik dan beberapa konghuchu. Tapi Dewi tetap saja minoritas.

Tapi aku sangat percaya, Kemanggisan adalah kawasan di Jakarta yang paling aman dan paling toleran dari sisi kepercayaan yang dianut penduduknya. Saat kerusuhan berbau etnis berlangsung pada 1998, hiruk pikuk itu tidak sampai ke perumahan di sana.

Aku tidak pernah bertanya pada Dewi, apakah dia merasa nyaman di Kemanggisan. Tapi setahuku dia masih betah di sana.

Dewi adalah buyut dari Madrais. Lelaki asal Desa Cigugur, Kuningan ini adalah salah satu tokoh pendiri sekaligus penyebar agama sunda lama, alias Sunda Wiwitan. Selama hidupnya, Madrais pernah dibuang ke Digul (ada yang bilang ke Ternate, di Maluku) oleh pemerintah Belanda karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Dia baru pulang ke kampung halamannya pada 1920. Dalam majalah berbahasa Sunda "Mangle" terbitan tahun 1980-an, pernah diulas soal keberadaan Madrais. Aku masih ingat, "Mangle" kala itu menyebut Madrais sebagai tokoh nasionalis yang anti Belanda. Dalam artikel tersebut juga dituliskan aktivitas ritual Madrais dan para pengikutnya, seperti "seba" (memberikan sejumlah hasil bumi) kepada sang hyang wisesa alam.

Menurut Dewi, beberapa ritual para pengikut Madrais hingga kini masih berlangsung di Desa Cigugur. Salah satunya adalah "Upacara Seren Taun", yang dilakukan setahun sekali. Masyarakat Cigugur, secara bergotong royong membawa hasil bumi. Mereka juga mengadakan pagelaran wayang dan kecapi suling pada malam hari.

Penduduk Cigugur sendiri, terbagi dalam dua agama besar: Islam dan Katolik. Banyak orang menduga, itu karena selama rezim Orde Baru, mereka dipaksa harus meninggalkan kepercayaan lamanya dan memilih salah satu agama resmi. Kala itu, dakwah dari kelompok Islam berebut dengan para misionaris Katolik.

Ayah Dewi, Pangeran Jatikusuma, adalah ketua paguyuban penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan di Jawa Barat sekaligus pimpinan yang meneruskan ajaran Madrais. Aku pernah bertemu dengan Jatikusuma di Hotel Preanger, Bandung, dalam acara pentas kecapi suling, ketika aku duduk di bangku SMA. Orangnya tak banyak bicara.

Salah seorang anak Jatikusuma, yang tak lain adalah kakak Dewi, sempat berperkara di pengadilan Jakarta Timur pada 1997. Pasalnya, persis kasus Dewi, mereka ingin menikah dengan cara penganut aliran kepercayaan. Kala itu, kantor catatan sipil tidak mengizinkan hingga berlanjut ke meja hijau.

Buat warga Kemanggisan, sebenarnya ini adalah berkah sebab mereka tidak hanya berdampingan dengan para penganut agama resmi, tapi juga penganut aliran kepercayaan. Aku pernah ditanya oleh Kak Mimi, iparku, penganut kepercayaan itu ada ritualnya nggak? Setahuku ada, tapi tidak rumit. Tapi, mereka lebih menitikberatkan pada ajaran budi dan ahlak yang baik. Bila inti dari agama (agama apa saja) adalah berbuat baik dan mengasihi pada sesama, tak ada alasan untuk menolak kehadiran mereka.

Aku berharap Dewi bebas memeluk dan menjalankan aktivitas kepercayaannya di Kemanggisan. Tanpa cemooh, tanpa diskriminasi.

8 comments:

  1. Anonymous7:43 AM

    Setujuuuuuuu.. Saatnya buat berdampingan secara damai.. Aku ga suka ama yang mengkotak2an orang berdasarkan agama yang dianut..

    Salam ya buat jeng Dewi..

    ReplyDelete
  2. Anonymous10:16 AM

    Sebenarnya bagi warga muslim hal demikian nggak menjadi masalah. Kenapa? Rasul SAW mendapat perlindungan dari pamannya Abu Thalib (ayahanda Ali) yang notabene hingga akhir hayatnya tetap memeluk kepercayaan agama nenek-moyangnya.

    Juga, kalau tidak salah, saat penaklukan Mekkah, Rasul SAW tidak memaksakan bagi warga Mekkah (kaum Quraisy) untuk memeluk Islam, meski mereka kalah dalam perang yang mereka ciptakan.

    Terlebih-lebih, saat Rasul SAW memuat perjanjian Madinah, suatu kesepakatan untuk hidup rukun diantara Islam, Kepercayaan, Majusi, Yahudi, Nasrani.

    Hemat saya, pada dasarnya nggak masalah, pan... lakum dinukum waliyadin...

    btw, pluralisme adalah sunatullah bagi muammallah, gitu, nggak, Man?

    ReplyDelete
  3. Anonymous11:09 PM

    Setujuuu. Indonesia tahun 50-an malah lebih maju, pada tahun-tahun itu di KTP tidak dicantumkan kolom agama, agamakan itu bukan sesuatu yg solid,bukan benda yg bisa dilihat, apalagi dipegang, jadi walau di KTP atau di mulut bilangnya Islam, tapi di dalam hati siapa yg tahu?

    ReplyDelete
  4. Anonymous3:35 PM

    Agama di KTP adalah pendustaan resmi terhadap diri sendiri yang diajarkan oleh pemerintah. Hal ini mendorong orang Indonesia menjadi tidak jujur dan biadab seperti: korupsi dan terorisme yang merajalesa saat ini.

    ReplyDelete
  5. Soal pernikahan para penganut aliran kepercayaan sekarang (tahun 2009)sudah diakui dan dapat didaftarkan ke kantor catatan sipil. Bahkan bagi para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kolom agama pada KTPnya pun boleh dikosongkan.Semoga keadilan lebih dapat dirasakan oleh semua warga Indonesia. Amin...

    ReplyDelete
  6. Mba Dewi, senang melihat Anda di debat di TV One...

    Terimakasih

    ReplyDelete
  7. warno hehe2:35 PM

    Kpd Kanti dan rekan2 senasib.;
    Pada dasarnya agama adalah filsafat ,lihat pada history agama apapun.
    Jadi:
    Pertama, UUD 45 telah memberikan hak kepercayaan dan agama pada warga nya; dengan pengertian kepercayaan adalah setara agama.
    Kedua : Alquran, srt Al Baqarah ayat 62 juga tidak melarang agama SHABIIN sbg agama ke empat selain Yahudi, Kristen dan Islam;( Indonesia dapat di anggap sbg kaum SHABIIN )
    Jadi Negara harus adil
    Dan kita harus tetap berjuang dan menuntut hak kita sbg WARGA NEGARA INDONESIA.
    Trima kasih.28 Des. 2013.

    ReplyDelete
  8. warno hehe5:45 AM

    Kpd Kanti dan rekan2 senasib : (II)
    UUD 45 psl 29 ayt 2 :
    Negara menjamin kemerdekaan tiap2 penduduk untuk memeluk agamanya masing2 dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu . !
    Mari kita renungkan dalam2 arti kalimat di atas.
    Kalimat diatas mengandung arti : AGAMA dan KEPERCAYAAN adalah sama dan sejenis .
    Jadi Negara harus konsekwen dengan pengertian ini.
    Kita semua perlu berusaha secara jalan hukum , apakah lewat PTUN apakah lewat Mahkamah Konstitusi ; Bukankah Negara kita NEGARA HUKUM?.
    Mari kita bersama2 berjuang ; demi BAHASA INDONESIA ;Yang sudah jelas ; tetapi di buat kabur maknanya .
    Terima kasih. 30 Des. 2013.

    ReplyDelete