|
Monday, October 16, 2006 | 6:55 PM
Tukang delman
Tepat di ujung pasar Palmerah, seberang rel kereta api, berkumpul sekelompok tukang delman. Biasanya mereka mangkal di hari minggu, menunggu orang-orang yang sesekali menggunakan jasa mereka dari pasar ke Senayan. Sekai angkut tarifnya Rp 7000. Bisa dinaiki oleh 5-6 orang.
Kuda-kuda yang dihela itu tampaknya harus berjuang melintasi jalanan di Jakarta yang sarat kendaraan roda dua dan empat. Tak jarang kuda-kuda itu harus melawan arus sebab tak ada jalur khusus delman. Mereka kini menjadi alat transport yang tidak praktis. Mereka yang menggunakan jasa delman sebenarnya hanya untuk menyenangkan hati anak-anak saja. Sebab, banyak anak yang jarang kuda di Jakarta.
Pada hari ketika beberapa orang anak di Kemanggisan disunat, sudah menjadi tradisi mereka akan diarak menggunakan delman dengan dihiasai kertas warna-warni di belakangnya, diiringi musik marawis berisi pujian kepada Nabi. Rombongan pengantin sunat ini berjalan mengelilingi kawasan sekitar Kemanggisan hingga Palmerah.
Bila menengok jauh ke belakang, kisah para tukang delman dengan kudanya itu selalu muncul sebagai bagian tak terpisahkan warga masyarakat pada umumnya. Kisah "Nyai Dasima," seorang nyai pribumi yang jadi gundik seorang Belanda jaman dulu, memunculkan tukang delman sebagai sosok yang kuat. Ada pula kisah tukang delman yang muncul dalam karya sastra Sunda "Gogoda ka nu ngarora" (godaan bagi anak muda) karangan Caraka (kalau tidak salah) yang terbit pada tahun 1960-an, menceritakan tukang delman dari Palmerah pada malam hari menuju Pasar Baru membawa seorang yang akan melakukan aksi pembunuhan. Delman yang dipakai pada malam hari itu menggunakan lampu gas. Kisah ini merupakan sekuel dari " Baruang Ka Nu Ngarora" (racun bagi anak muda) karangan DK Ardiwinata yang terbit sekitar tahun 40-an.
Tukang delman juga biasanya diidentikkan dengan sosok yang miskin dan marginal. Namun, kisah Haji Suid lain lagi. Meski berprofsi sebagai tukang delman, lelaki yang pernah hidup pada tahun 1950-an ini, bisa dibilang cukup berada. Dia mampu berangkat haji, sebuah status sosial yang paling dicita-citakan warga Betawi hingga sekarang.
Haji Suid juga seorang yang pandai mengobati orang dengan menggunakan obat tradisional dan jampi-jampi. Dia adalah menantu Haji Muala (selain Haji Junaidi), yang kisahnya saya tulis dalam "Legenda". Nama Haji Suid kini sebagai gang di Kemanggisan.
Tampaknya, nama jalan di Kemanggisan hanya diangkat dari kisah orang-orang sederhana. Mereka bukan pahlawan yang dengan gigih melawan para penjajah. Cukup seorang guru ngaji (Haji Junaidi), pedagang (Haji Muala) dan tukang delman (Haji Suid). Masih banyak kisah dari nama jala yang berserakan di Kemanggisan.
Para tukang delman yang masih setiap pada profesinya di pasar Palmerah, hanyalah sisa kejayaan delman masa lalu.
|
About
Name: iman firdaus
Location: Jakarta, kemanggisan
Iman Firdaus, lahir di Bandung. Saat ini bekerja sebagai wartawan Tabloid Investigasi di Jakarta.
View my complete profile
Recent Post
Archives
Shoutbox
|
|