Wednesday, December 13, 2006

10 Desember

Ahad, 10 Desember lalu, bekas diktator Cile Augusto Pinochet meninggal akibat operasi gagal jantung dalam usia 91 tahun. Sebagian warga Cile tak bisa melupakan kekejaman sang jendaral yang merebut tampuk kepresidenan lewat kudeta berdarah pada 1973. Pinochet merebut kekuasaan dengan mengerahkan tank dan pesawat tempur ke Le Moneda, rumah kepresidenan Salvador Allende. Allende kemudian bunuh diri.

Kematian Pinochet bertepatan dengan hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember, yang dirayakan serentak di seluruh dunia. Tepat sehari setelah kematiannya, di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang terletak di Palmerah mengadakan serangkaian pemutaran film-film bertemakan pelanggaran HAM. Ada enam film yang diputar, salah satunya It Raining in Santiago, yang berkisah tentang kudeta yang dilancarkan oleh Pinochet sehingga merubah Cile dari negeri sosialis menjadi junta militer yang didukung Amerika Serikat.


Yang menarik, salah satu kode intelijen yang digunakan oleh CIA (Intelijen AS) untuk menggulingkan Allende yang komunis adalah “Djakarta Operation”. Nama ini diambil oleh CIA, tampaknya, setelah sukses menggulingkan Soekarno yang dekat dengan PKI, dengan cara mendukung Soeharto yang militer.

Hingga akhir hayatnya Pinochet tidak tersentuh hukum. Sebagian warga Cile ada yang mengaguminya sebagai sosok yang melepaskan Cile dari jeratan komunis. Namun, sebagian lain geram atas perilakunya selama berkuasa yang kebal hukum dan melakukan serangkaian tindakan kekejaman. Pinochet tidak dikuburkan. Dia memilih dikremasi dengan alasan takut kuburannya dirusak oleh orang-orang yang membencinya.


Lima film lain, tak kalah memikat. Yaitu The Road to Guantanamo. Bertutur tentang empat pemuda asal Inggris keturunan Pakistan yang harus mendekam di penjara Guantanamo, Kuba, gara-gara militer dan intel AS salah comot.

Keempat pemuda itu tadinya akan mengantar salah seorang di antara mereka untuk dinikahkan di Pakistan, yang tempatnya kebetulan berbatasan dengan Afganistan. Sialnya, di negera Taliban itu, tentara AS sedang memburu otak serangan 11 September, Osama bin Laden. Bom yang dijatuhkan di sana, membuat salah seorang dari keempat pemuda itu tak diketahui nasibnya hingga kini. Sementara tiga lainnya: Asif, Shafiq dan Ruhel harus mengalami interogasi dan penyiksaan, dari mulai Afganistan hingga Guantanamo.

Namun setelah diselidiki, ketiganya dinilai “bersih” dan dianggap tidak terkait dengan Osama bin Laden. Tapi, luka lahir dan batin atas penyiksaan itu belum terobati. Dunia pun bereaksi atas keberadaan Guantanamo, yang dinilai melanggar konvensi Jenewa.

Film ketiga adalah Imagining Argentina. Film ini menggabungkan antara kekerasan politik, agama dan supranatural khas Amerika Latin. Dibintangi oleh Aktor Antonio Banderas yang berperan sebagai Carlos Rueda, seorang seniman yang isterinya hilang karena diculik.

Carlos sudah mengadukan ihwal kehilangan ini kepada pihak berwajib namun tidak ditanggapi. Dia pun menggunakanm cara cenayang, telekinetik yang mampu melihat orang-orang dalam ruang dan waktu berbeda. Rupanya, cara ini membuat banyak ibu-ibu mendatangi Carlos dan minta “dilihat” keadaan keluarganya yang raib entah kemana. Ada yang sudah mati, ada yang masih hidup dalam penjara, ada yang dalam penyiksaan, dan ada yang sedang berupaya untuk kabur. Setiap sosok yang diculik, memiliki motif penghilangan paksa karena alasan politik. Selama kurun 1975 hingga awal 1980-an, setidaknya ada 30 ribu warga Argentina hilang tanpa kejelasan.

Film keempat, S21: The Khmer Rouge Killing Machine. Ini film paling membosankan. Selama hampir dua jam, sang sutradara hanya mewawancara para survivor dan para tentara yang pernah menyiksa warga Kamboja setelah Khmer Merah menggulingkan Raja Norodom Sihanouk.

Kelemahan film ini tidak menggunakan ilustrasi atau cuplikan dokumen yang mendukung wawancara. Padahal, kejadiannya sangat mengerikan. Nyawa begitu gampang melayang, hanya gara-gara, misalnya, seorang seniman yang lukisannya tidak disukai oleh petinggi Khmer Merah.

Sementara para tentara bertindak sangat dogmatis. Tidak kenal kawan atau saudara, bila “Angka” memerintahkan untuk membunuh, ya harus dibunuh. “Angka” adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi dalam Khmer Merah yang dipegang oleh Pol Pot. Lelaki ini berkeinginan merubah peradaban Kamboja, menjadi msyarakat pertanian tanpa kelas dalam sekejap. Semua orang harus kembali ke sawah, dan tahun berganti menjadi “tahun nol” artinya, semua kembali ke titik nadir.

Film kelima, Sometimes in April. Tentang perang suku di Rwanda antara Hutu dan Tutsi, yang menewaskan setidaknya hampir sejuta orang dalam hitungan bulan. Bagi yang pernah menonton “Hotel Rwanda”, film ini adalah versi dokumentasi yang lebih detil lagi.

Dan terakhir, Private. Film tentang keluarga Palestina yang tidak bisa keluar rumah, karena salah satu ruagan dalam rumah mereka diduduki tentara Israel.

Semua film yang diputar menjelaskan satu hal: betapa kekerasan atas nama politik terjadi di hampir semua belahan dunia. Tanpa kenal budaya dan agama.

3 comments:

  1. Anonymous8:01 PM

    bang iman ini adrian, bagus juga kisahnya. gimana di iinvestigasi gajinya kuat untuk bulanan. ada titip pesen dari BS, blognya kurang ramai, neh. ditambah-tambah apa gitu, biar chacthing ornamennya.

    ReplyDelete
  2. Anonymous8:04 AM

    semua bermuara pada kedangkalan memandang pluralitas... tulisan bagus, Man :)
    btw, bagaimana dgn Pak Harto?

    ReplyDelete
  3. Anonymous3:55 AM

    Yup!, and those ruling power and impose by force will never last long..

    Time will defeat them for sure.
    Pak Harto dan pak..pak yanglainya - kalau masih menggunakan cara-cara lama - tidak akan langgeng dan jadi sumber hujatan, dan rakyat kecil sekali lagi jadi korban.

    Salam kenal dan salam hangat dari afrika barat

    ReplyDelete