Wednesday, January 01, 2014

Haji Tabong

Papan nama itu ditempelkan di pintu masuk gang yang berada di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Barat.Pada bilah papan nama tertera "H. Tabong" , yang berarti gang itu bernama Gang Haji Tabong.  Di sisi kiri gang ada warung kecil dan tukang tambal ban yang beroperasi selama 24 jam.Biasanya, mulut gang lumayan ramai bila malam minggu tiba.

Nama Gang H.Tabong boleh jadi tak banyak yang mengenal. Maklum, sebelumnya, gang selebar dua meter itu tak punya nama. Bila masyarakat yang tinggal di gang itu ingin memberi tanda alamat, cukup mengatakan, "gang yang ada tangki minyaknya". Soalnya, tepat di sisi gang ada tanki minyak yang sekarang sudah tak terpakai. Dulu memang ada orang jualan minyak tanah di sana.

Menyematkan Haji Tabong menjadi nama gang, tampaknya cukup punya alasan. Haji Tabong, yang nama aslinya Mujidtaba, bukan pahlawan. Dia hanya penduduk biasa yang pekerjaan sehari-harinya menjadi tukang jahit. Sebagai warga Betawi lama, Haji Tabong punya tanah luas. Sekitar tahun 1940-1950, saat harga tanah masih murah, banyak warga keturunan Tionghoa yang menyewa tanah kepada Haji Tabong. Rupanya, dulu tanah bisa disewa dan si penyewa boleh membangun rumah di atas tanah yang dia sewa itu.  Karena harga sewa tanah murah, tak heran bisa menyewa berpuluh-puluh tahun hingga saat ini. Namun sebagian ada juga yang akhirnya membeli tanah tersebut. Orang dulu mungkin menganggap Haji Tabong punya jasa dan kebaikan, sehingga cukup pantas bila namanya diabadikan menjadi nama gang.

Dari  foto yang saya miliki, Haji Tabong punya empat anak. Saya tidak tahu nama lengkap anak-anaknya, tapi dikenal dengan nama panggilan Nyak Maim, Encang Haji Acad, Hajah Siti Aiysah, dan Haji Sidik. Keempat anaknya punya pendidikan yang baik, terutama untuk pendidikan agama. Terbukti keempat anaknya semua bisa membaca dan menulis bahkan ada yang mengajar di madrasah.

Haji Tabong juga punya kesadaran dokumentasi yang baik. Ketika salah seorang anaknya, Aisyah,  baru sembuh dari sakit, dia membawa seluruh anaknya untuk berfoto bersama di studio foto di kawasan Tanah Abang. Ketika masih hidup, Hajah Siti Aisyah mengenang, dia dan seluruh keluarganya pergi ke studio foto menggunakan delman. Jalan  dari Palmerah ke Tanah  Abang sudah ada sejak lama, yakni jalan yang saat ini membentang dari Palmerah, ke arah Slipi terus hingga ke Tanah Abang. Saat ini, jalan itu biasa dijadikan rute  oleh mikrolet M11 atau M09.

Ada juga kebiasaan lain Haji Tabong, yakni suka mencicipi makanan di luar rumah. Mungkin "wisata kuliner" yang saat ini marak, sudah lebih dulu dilakukan oleh Haji Tabong. Namun tidak ada keterangan, rumah makan mana saja yang suka disinggahi dan menu apa saja yang paling disukai. Namun sebagai informasi, kawasan Slipi dan Palmerah sudah lama dikenal sebagai tempat pembuatan asinan yang lezat. Sisa-sisa itu masih mudah ditemui sampai sekarang. Bila ke Palmerah, tanyakan saja warung encum, semua orang pasti kenal, karena asinannya yang khas. Oya, dulu, kawasan Palmerah masuk ke dalam kawasan Kemanggisan juga.

Oleh anak dan cucunya Haji Tabong dipanggil "Baba Haji Tabong". Kebaikannnya kepada anak, cucu dan tetangga tetap dikenang sampai sekarang. Salah satunya saat Jepang kalah dan kondisi di Jakarta sedang kacau, pada  tahun 1945. Kala itu terjadi kerusuhan dan penjarahan seperti yang terjadi pada saat Orde Baru jatuh pada tahun 1998. Sasarannya juga toko-toko yang dimiliki masyarakat keturunan Tionghoa. Peristiwa penjarahan toko itu, dulu disebut "gedoran". Banyak rakyat yang mungkin sedang lapar, melalukan penjarahan. Tapi Baba  Haji Tabong dengan tegas meminta kepada anak-anaknya, jangan ada satu orang pun yang berani menjarah toko-toko Cina. Sikap itu dikenang sebagai watak orang tua yang mengajarkan karakter tidak mengambil hak orang lain kepada anak-anaknya.

Jasad Haji Tabong kini terbaring di pemakaman umum Kemanggisan. Semoga pemberian nama gang punya makna mengambil teladan dari sikapnya yang sederhana, dari seorang anak Betawi yang sederhana pula.               




No comments:

Post a Comment