Monday, November 13, 2006 | 6:55 PM

Tempayan


Saat masih kanak-kanak, aku sering diajak berkunjung ke kampung ibuku di Desa Bojongjati, Sumedang, Jawa Barat. Saat itulah aku mengenal sebuah benda yang bernama tempayan (atau biasa disebut gentong) yang ditempatkan di halaman rumah. Benda yang buncit di bagian tengah itu, biasanya berfungsi sebagai penampung air hujan. Nah, siapa saja yang akan masuk ke dalam rumah, yang masih berupa panggung, akan membasuh kaki dari air dalam tempayan tersebut. Maklum saja, orang belum banyak yang menggunakan alas kaki dan jalanan penuh lumpur.

Hari-hari terakhir ini, memori tentang tempayan kembali hadir. Di halaman rumahku teronggok sebuah tempayan yang kugunakan untuk menyiram pepohonan pagi dan sore hari. Benda berwarna merah marun itu sudah tua, bahkan lebih tua dari penghuni tertua dalam rumahku, yaitu mertuaku sendiri Haji Hanapi yang kini memasuki usia 86 tahun.

Menurut dia, tempayan tersebut sudah ada sejak neneknya masih hidup, Haji Kuna. Nah, bila merunut dari usia para leluhurt tersebut, bisa diperkirakan usia tempayan itu kurang lebih 150 tahun.

Pada masa itu, benda yang beratnya 50 kilogram dengan diameter bagian tengah 40 centimeter itu, menjadi perkakas yang sangat biasa dalam rumah tangga warga Betawi. Bukan hanya warga Betawi sebenarnya, tapi masyarakat Asia pada umumnya.

Ada cerita, ketika benda ini menjadi kebutuhan yang mesti hadir dalam setiap rumah tangga di Kemanggisan. Nyaris di setiap rumah, akan menempatkan tempayan di halaman. Bukan sekadar untuk mencuci kaki, membasuh muka atau mengambil air sembahyang tapi juga penghilang rasa dahaga kala di tengah perjalanan. Mereka yang berlalu lalang, dan tiba-tiba kerongkongan terasa kering dipersilakan mengambil air dalam tempayan di halaman rumah. Siapa saja, tak perlu pernah saling kenal. Dan meski tidak dimasak, air tempayan itu tidak membuat sakit perut atau muntaber. Ya, karena dulu belum banyak polusi. Kala mata air yang jernih mengalir menghidupi setiap orang. Seperti air dalam kemasan yang kini marak diperjualbelikan. Mereka selalu menyebut berasal dari mata air yang jernih.

Bagaimana rasanya?Ini yang agak sulit digambarkan. Tapi, kira-kira sama dengan air yang diambil dalam kulkas, bahkan lebih. Terasa lebih sejuk dan menyegarkan. Sebab, tempayan terbuat dari tanah liar yang bisa membuat air jadi dingin.

Adalah para perantau dari negeri Cina yang disebut-sebut sebagai orang yang membawa tempayan ke Indonesia dan Malaysia, pada abad ke-16. Hampir dalam setiap peninggalan mereka, akan menyisakan tempayan. Di negeri asalnya, tempayan sudah terbiasa dihiasi oleh ukiran naga, burung hong dan juga motif bunga. Mereka menjadikan tempayan sebagai tempat menyimpan kain sutera, ramuan obat dan juga tuak.

Di beberapa suku, selain fungsi utama penyimpan air, tempayan juga diisi makanan, bahan pakaian, hasil permentasi berupa tuak, bahkan salah satu suku di Kalimantan menjadikan sebagai tempat menyimpan mayat. Di Malaysia juga dipakai menyimpan roti, yang kemudian dikenal dengan sebutan roti tempayan.

Mungkin hanya kaka iparku yang menjadikan tempayan sebagai tempat menyimpan oli bekas. Bang Ipin, kakak iparku, yang membuka bengkel motor, entah dari mana datangnya pikiran menjadikan tempayan sebagai pembuangan oli bekas. Setelah bertahun-tahun oli itu tersimpan, aku harus membersihkannya selama tujuh hari (karena kuatnya aroma oli yang menempel di dinding tempayan). Sekarang pun, meski sudah lumayan bersih, masih saja terasa berminyak. Anak tertuaku, Kalam, pernah berseloroh, "Tempayan ini isinya, jin ya?"

Image hosted by Photobucket.com

2 comments