Friday, December 15, 2006 | 9:03 PM

Orang Betawi Naik Haji


Lebaran haji sebentar lagi. Sekelumit kisah tentang sepasang jemaah haji asal Kemanggisan, yang terjadi pada awal tahun 1973: pasangan Hanapi dan Siti Aisah. Saat itu usia mereka sudah masuk paruh baya, dengan 10 anak, lima lelaki dan lima perempuan. Anak paling kecil Desi Arfianti belum genap satu tahun.Sehingga harus dititipkan kepada kakak tertua Hanipa.

Dalam masyarakat Betawi haji bukan semata kewajiban agama. Tapi juga status sosial. Aktor Benyamin Sueb (almarhum), dengan kocak pernah menggambarkan dalam satu filmnya. Kala Benyamin ditawari sebuah gelar, mau pilih Ir, drs, atau apa saja di depan namanya. Benyamin menjawab, "Haji aja biar afdal," kata seniman Betawi serba bisa ini. Bagi orang Betawi, banyak cara dan pengorbanan untuk bisa meraih gelar itu.

Begitu pula dengan pasangan Hanapi dan Aisah. Untuk melaksanakan kewajiban agama dan status sosial, sepetak tanah di Kemanggisan mereka jual seharga Rp400 ribu.Ongkos yang cukup untuk berangkat sampai ke Mekkah dengan menggunakan kapal laut pulang pergi waktu itu.

Suasana menjelang keberangkatan atau biasa disebut walimatus shafar, sangat mengharukan. Ratusan kawan dan kerabat mengantar hingga ke Tanjung Priok (dulu asrama Haji Pondok Gede belum dibangun).

Di sana mereka bertemu dengan ratusan calon jemaah haji lainnya.Masing-masing diberi seperangkat pakaian dan koper untuk membawa barang-barang yang dinamakan sahara. Tapi jumlah barang bawaan dibatasi. Jumlah yang diperkenankan hanya tiga koli. Mereka juga boleh membawa bumbu dapur dan makanan seperti terasi dan ikan asin, tak lebih dari 2,5 kilogram. Obat-obatan tak lebih dari satu kilogram. Bagi yang suka merokok boleh membawa 200 batang rokok, dan sekilo tembakau.

Untuk laki-laki, selain diberi kain ihram, juga hanya boleh membawa enam helai kain sarung. Sementara untuk perempuan, kain panjang 10 helai, mukena dua helai dan stagen dua helai. Jumlah uang yang boleh dibawa hanya Rp 2.500, tapi mata uang asing tidak dibatasi.

Selama dalam pelayaran, para jamaah diberi aturan soal makan, mandi dan berjemur. Misalnya, makan harus antre. Untuk urusan ini Hanapi dan Aisah cukup beruntung, sebab salah seorang anak buah kapalnya tak bukan kawan dari sang menantu. Sehingga keduanya tak usah repot-repot mengantri.

Jamaah juga tidak diperbolehkan ke kamar mandi hanya menggunakan handuk belaka. Ini berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, seperti tertulis dalam buku panduan Hamba Labbaik yang diterbitkan oleh Yayasan Perjalanan Haji Pusat (terbit pada 1971). Dalam buku tersebut dijelaskan banyak jamaah yang pergi ke kamar mandi, baik lelaki maupun perempuan, hanya berkaus dan berkutang saja. Begitu pula saat berjemur di dek kapal, tak sedikit yang onkang-ongkang kaki sambil telanjang dada.

Tapi peristiwa yang menggemparkan selama dua pekan dalam pelayaran adalah tewasnya seorang paman oleh keponakannya sendiri gara-gara rebutan soal warisan. Mayat sang paman akhirnya dilepas di lautan. Sementara sang keponakan segera dipulangkan begitu tiba di Jeddah, karena tersangkut perkara kriminal.

Sesampai di Arab, setiap jemaah akan dipandu oleh seorang syekh. Tapi ini bukan ulama, hanya guide selama berhaji. Tapi yang lucu, ketika sampai di pelabuhan, para kuli angkut banyak yang siap membantu jamaah. Barangkali karena mereka memakai serban dan bicara fasih bahasa Arab ( ya karena orang Arab), banyak jemaah yang mencium tangan kuli-kuli angkut pelabuhan itu. Mungkin ini kebodohan jamaah kala itu. Mereka sangka, kuli itu ulama besar.

Alhasil, perjalanan haji dengan kapal laut memakan waktu 3 bulan hingga tiba kembali ke Kemanggisan. Sesampainya di kampung halaman, Hanapi dan Aisah yang kini bergelar haji, mengadakan syukuran. Dan untuk mempererat persaudaraan di antara kawan seperjalanan, mereka juga saling berkunjung. Ada yang menawarkan agar anak-anak mereka dijodohkan saja. Ada yang begitu pulang langsung terkena serangan sakit kepala hebat, hingga dirawat di rumah sakit dan kemudian meninggal sebelum tiba di rumah.

Salah seorang sahabat seperjalanan Haji Hanapi dan Aisah adalah warga kebon jeruk yang tak lama sesudah berhaji dilanda sakit gigi. Sakit gigi yang hebat dan tak tertahankan lagi itu diselesaikan dengan cara yang berakibat fatal. Pak Haji itu mencabut giginya dengan tang, dia memelintir giginya yang sakit dan mencabutnya sekaligus. Gigi yang tercerabut itu mengeluarkan darah banyak diikuti penglihatan yang kabur dan tak lama kebutaan permanen.

Semua kisah itu, dituturkan kepadaku oleh pasangan yang telah menjalani hidup berumah tangga lebih dari setengah. Pada 2003, Hajjah Aisah wafat dalam usia 78 tahun. Sementara Haji Hanapi kini masih sehat, Pebruari nanti masuk usia 86 tahun. Dan Desi, yang ditinggalkan berhaji ketika masih orok, kini menjadi pasangan hidupku.

Image hosted by Photobucket.com

3 comments