Thursday, November 16, 2006 | 7:48 PM
Haji Hasan
Namanya Haji Hasan bin Haji Junaidi. Perawakannya sedang berkulit putih. Dia lahir sekitar 88 tahun silam di Kemanggisan, Jakarta Barat. Meski masih sanggup mengenali orang yang datang menjenguknya, tapi bicaranya sudah tidak bisa dipahami lagi. Stroke ringan tiga tahun silam membuat langkahnya makin tertatih. Di temani sebilah tongkat yang terbuat dari bahan alumnium tahan karat, lelaki yang mengabdikan hidupnya bagi pelajaran agama di kawasan Kemanggisan dan sekitarnya itu, lebih banyak berbaring di tempat tidur.
Lima tahun lalu, meski sudah masuk usia uzur, Haji Hasan masih bisa memenuhi panggilan para jamaah yang ingin menyerap ilmu agama darinya, terutama nahu dan shorof (ilmu tata bahasa dan gramatikal bahasa Arab). Biasanya, seorang jamaah akan menjemputnya menggunakan sepeda motor. Dengan kain sarung yang disingkapkan sebatas lutut, dia bersedia naik kendaraan roda dua tersebut menuju mushola dan mesjid-mesjid. Tongkat itu akan menemaninya. Dan sebuah tas kulit yang dia tenteng berisi kitab-kitab kuning.
Tapi, meski sulit untuk berjalan, Haji Hasan enggan dibantu, seperti dipapah misalnya. Alasannya lebih ribet dan jadi sulit untuk melangkah. Jadi, bukan karena menolak pertolongan. Pertolongan yang dimintakan biasanya bila dia akan membuka sendal. Dia harus melepas sandal dengan bantuan orang. Kalau tidak, sendal kulit itu akan lama menempel di kakinya meski dikibas berkali-kali. Bukan sendalnya yang lengket, tapi gerakan kakinya yang kelewat lemah.
Bila sudah mengajar, dia akan mampu duduk selama satu jam lebih. Tapi, saat akan bangkit, baginya adalah kerja keras yang luar biasa. Dia akan memegang tongkat terlebih dahulu, lalu kemudian berpegangan pada dinding tembok. Untuk yang satu ini pun dia enggan dibantu orang. Sebab, pegangan orang akan dirasa menyiksa tulang punggung dan kakinya. Gerakan sedikit saja dari orang yang memapahnya akan terasa ngilu di tulang punggung dan kakinya yang sudah lama mengalami pengapuran.
Sebagian orang di Kemanggisan menyapanya "Mualim", sebutan untuk guru mengaji yang ilmunya cukup dalam. Dia juga dihormati di kampungnya, karena beliau adalah salah seorang anak Kyai Haji Junaidi, seorang guru mengaji yang paling dihormati di Kemanggisan. Seorang ustad menyebut Kyai Haji Junaidi sebagai "obor Kemanggisan".
Tapi masa muda Haji Hasan bukanlah dunia pesantren dan kitab kuning. Dia lebih banyak menghabiskan hari-harinya dengan bermusik bersama sesama anak muda Kemanggisan kala itu, sekitar tahun 1940-1950. Haji Hasan adalah pemain biola, biasa disebut piul.
Bila malam tiba, dia akan mendatangi pesta pernikahan ke pesta pernikahan, dari sekumpulan pecinta musik ke kumpulan pecinta musik, dengan tujuan mendendangkan lagu-lagu yang sedang hits kala itu. Belum banyak lagu kasidah, tapi irama India dan Melayu lebih mendominasi. Hasrat menyebarkan ilmu agama belum tampak kala itu.
Tapi, meski seniman musik dikenal agak binal, Haji Hasan dan kawan-kawannya tidak terdengar bermain dalam suasana yang "barbar". Tidak ada tempik birahi dan gelinjang perempuan penggoda. Barangkali, suasana berkesenian waktu itu cukup sopan tanpa sisipan goyang pemikat syahwat.
Aku masih sering mendengar orang-orang tua di Kemanggisan mendendangkan syair lagu lama berirama melayu yang berbunyi:
Teringat masa yang lalu berdua di taman bunga
Selebihnya aku tak hapal lagi. Katanya, lagu ini populer di tahun 1950-an.
Haji Junaidi yang tahu anaknya lebih banyak menghabiskan waktu bermusik daripada berkeliling kampung untuk berdakwah marah besar. Suatu hari, semua peralatan bermusiknya dirusak sampai hancur berantakan. "Gue nyuruh lo sekolah ilmu agama bukan buat main musik," begitulah kira-kira kalimat yang terlontar dari mulut sang ayah yang berang. Setelah itu, Haji Junaidi menyodorkan secarik kertas bertuliskan bahasa Arab. "Nih, baca buat khutbah Jumat nanti, "lanjutnya.
Haji Hasan pun menyerah. Dia harus berani menerima tantangan ayahnya yang meminta naik ke mimbar untuk khutbah Jumat. Semenjak itulah, bermain musik ditinggalkannya. Haji Hasan pun mengambil alih sebagian tugas mengajar sang ayah. Orang-orang Kemanggisan pun tahu bahwa Haji Hasan adalah penerus Haji Junaidi yang ilmu agamanya kesohor itu.
Sayang, dari anak-anak dan cucunya, tak ada satu pun yang mewarisi bakat sang ayah sebagai juru dakwah atau sekadar guru mengaji. Kini, lelaki renta itu hanya menatap cucu-cucunya dari balik jendela di rumahnya di Kemanggisan yang padat penduduk. Setiap lebaran, para kerabat akan berdatangan menemuinya. Dia akan duduk di kursi dan ikut berbincang meski nada bicaranya sudah tak jelas lagi. Encang Haji Hasan, itulah sebutan dari para kerabat dan keponakannya. Wajahnya tetap teduh dan selalu ingin tersenyum. Kerabat dan keponakan yang akan pamit sehabis menjenguknya tak lupa mencium tangan seraya menempelkan uang ala kadarnya.
Di dinding rumahnya terpampang foto dia bersama Mukhsin Alatas. Ketika aku bertanya, pada momen apa Haji Hasan foto bersama penyanyi itu? Tak banyak yang bisa menjelaskan. Aku menduga mungkin dalam salah satu pengajian. Atau barangkali karena sama-sama penggemar musik? Ah, hanya sebuah dugaan.
|
About
Name: iman firdaus
Location: Jakarta, kemanggisan
Iman Firdaus, lahir di Bandung. Saat ini bekerja sebagai wartawan Tabloid Investigasi di Jakarta.
View my complete profile
Recent Post
Archives
Shoutbox
|