Thursday, January 04, 2007 | 4:18 PM

Hukum Gantung


Hari-hari belakangan ini, media massa dunia diramaikan oleh berita hukum gantung bagi Sadam Husein dan para pembantunya. Aku jadi teringat sebuah artikel dari kumpulan tulisan sastrawan Inggris George Orwell. Dalam buku berjudul Mereka yang Tertindas itu, ada artikel berjudul Hukum Gantung, yang ditulis Orwell pada Agustus 1931. Berikut kutipannya:

Waktu itu di Burma hari pagi yang lembab. Sekerat sinar, bagaikan sehelai timah kuning, jatuh menyudut jauh dari tembok penjara ke halamannya. Kami menunggu di luar sederet sel orang hukuman, yang berjeruji dua lapis, seperti kandang kecil untuk binatang. Tiap sela berukuran dua kali dua meter. Di dalamnya tidak ada apapun kecuali sebuah balai-balai kayu dan sebuah cawan untuk minum. Beberapa orang hukuman, berkulit coklat, dengan selimut terhampar di bahu, duduk berjongkok di dalam beberapa sel ini. Mereka orang hukuman yang sudah dijatuhi hukuman dan akan digantung dalam waktu satu dua pekan yang akan datang ini.

Seorang orang hukuman dibawa keluar dari selnya. Ia seorang Hindu, kurus kering seperti lidi, kepala bercukur gundul, mata kabur berair. Ia berkumis, tebal yang sedang bertumbuh, terlalu besar untuk tubuhnya, tidak ubahnya seperti kumis besar pelawak dalam film-film komedi. Enam orang India petugas penjara berbadan tinggi menjaganya dan menyiapkannya untuk dibawa ke tiang gantungan. Dua petugas, berdiri menjaganya dengan senapan dan bayonet terhunus, sedang yang selebihnya memasang borgol ke pergelangan tangannya. Sesudah itu seutas rantai mereka masukkan melalui borgol itu dan kemudian mereka ikatkan pada ikat pinggang mereka. Kedua belah tangan orang hukuman itu lalu diikat rapat ke tubuhnya. Orang hukuman itu mereka kerumuni. Tangan mereka melekat selalu ke tubuhnya, memegang hati-hati seperti membelai, seolah-olah meyakinkan diri mereka bahwa orang hukuman itu masih ada di situ.

Pukul delapan berdentang dan suara terompet, tipis saya di udara basah, datang melayang dari barak-barak di kejauhan. Inspektur penjara yang berdiri terpisah dari kami, menunggu sambil menusuk-nusukkan tongkatnya ke tanah dengan muram, menegakkan kepalanya waktu mendengar bunyi itu.

Kami mulai bergerak menuju tiang gantungan. Orang hukuman diapit dua orang petugas, masing-masing mengapit senapan dengan laras menukik ke tanah; dua orang lagi berjalan rapat pada orang hukuman itu sambil memegang tangan dan bahunya, seolah-olah sekaligus mendorong dan menopangnya.

Tiang gantungan terletak di sebuah halaman kecil, terpisah dari pekarangan utama penjara, dan tertutup semak tinggi berduri. Banguannya dari batu bata, hanya tiga sisi, dengan lantai papan atas, dan di atas ini dua tonggak dan palang melintang dengan tali terjulai. Pelaksana hukuman seorang hukuman juga, telah beruban dan mengenakan seragam putih penjara, berdiri menunggu di sisi pelatarannya. Ia berjongkok seperti budak menyambut kami waktu kami tiba.

Pelaksana hukuman turun dan berdiri siap, tangan memegang tuas gantung. Bermenit-menit berlalu rasanya. Suara doa yang teratur dan agak tersekap dari orang hukuman itu terus terdengar, "Ram! Ram! Ram!", tidak kendur sedikit pun. Inspektur penjara, kepalanya menekur ke dada, perlahan-lahan menusuk-nusuk tanah dengan tongkatnya; barangkali ia sedang menghitung doa itu berdoa sampai jumlah tertentu--lima puluh barangkali, atau seratus. Rona muka orang yang hadir berubah menjadi abu-abu seperti warna kopi basi, dan satu dua bayonet tampak goyang. Kami perhatikan orang terikat dan bertopeng di tiang gantungan itu, dan kami mendengar suara doanya-- satu doa berarti masih satu detik lagi kesempatan hidup. Pikiran kami semua sama; oh, cepatlah habisi nyawanya, supaya cepat selesai, hentikan suara mengerikan itu!

Pegawai penjara berdarah campuran tadi, yang berjalan di samping saya, menunjuk dengan anggukan ke arah tempat kami berada, sambil tersenyum, "Bapak tahu, teman kita itu (maksudnya orang hukuman yang sudah jadi mayat itu) waktu mendengar permohonan naik bandingnya ditolak terkencing-kencing di lantai selnya. Karena takut. Silakan ambil sebatang rokok saya, Pak. Bagaimana pendapat Bapak, apakah tidak indah kotak rokok perak saya ini, yang baru saja saya peroleh.

Beberapa orang tertawa keras-keras. Karena apa-- tidak ada seorang pun tampaknya tahu. Saya sendiri juga ternyata turut tertawa. Bahkan inspekturpenjara tersenyum, " Mari kita semua keluar dan minum," katanya dengan nada gembira.

Image hosted by Photobucket.com

2 comments