Monday, January 01, 2007 | 2:45 PM

Mahagenta


Penahkah Anda mendengar syair lagu gerimis? Simak di bawah ini:

e, ujan gerimis aje
ikan bawal diasinin
e, jangan menangis aje
bulan syawal kita dikawinin

Semula lagu ini dinyanyikan dalam langgamg gambang kromong. Benyamin Sueb salah satu yang pernah mempopulerkannya bersama Ida Royani.

Gambang Kromong sendiri berasal dari Cina, di bawa ke Teluk Naga, Tangerang, dan hingga kini menjadi musik tradisi Betawi yang hampir punah. Aku pernah menonton tetangga yang nanggap gambang kromong di rumahnya. Si penanggap adalah keturunan seorang centeng pasar yang ditakuti. Dia dikenal jago ngibing bersama para penari cokek.

Tapi, penampilan para pemain dan penyanyi benar-benar kumal. Tak ada dandanan yang menawan. Para penyanyi perempuan hanya berbedak ala kadarnya dengan pemerah bibir yang pudar bila terlalu lama kena matahari. Mereka hanya memakai sandal jepit. Tak banyak penonton yang datang. Menyedihkan. Wajar, saja sebab lagunya pun tak banyak dikenal penduduk. Memang, ada beberapa lagu gambang kromong yang cukup populer di masa lalu seperti Cente Manis dan Sirih Kuning. Tapi, itu pun tak banyak orang dikenal orang sekarang, bukan?

Nasib seni tradisi dan senimannya memang kurang beruntung. Mereka kalah dalam persaingan musik industri. "Itu karena mereka tidak membuka diri," kata Uyung. Uyung adalah pimpinan kelompok musik tradisi Mahagenta yang berlokasi di Jalan Saili Ujung, tak jauh dari kantor kelurahan Kemanggisan.

Uyung, yang bernama lengkap Henry Surya Panguji, rupanya paham keadaan zaman. Dia pun tak menampik untuk berkolaborasi dengan berbagai aliran musik yang sedang ramai di telinga pasar. Semata-mata agar musik tradisi bisa diterima.

Akhir tahun lalu, dia main di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dengan judul Mencari Indonesia . Kelompok Mahagenta memadukan berbagai jenis musik tradisi dalam satu penampilan. Dari Barat hingga ke Timur Indonesia. Dua lagunya yang aku suka berjudul Menari-nari dan Siang Malem. Lagu menari-nari kental dengan irama kendang dan kecapi, sementara Siang Malem kuat dengan irama gambang kromong, terutama gesekan tek yan. Tek yan adalah rebab Cina dengan dua dawai untuk mengiringi gambang kromong. "Ironisnya, banyak orang Jakarta yang tidak tahu alat musik tek yan," kaya Uyung.

Menurut cerita, tek yan ditampilkan sebagai musik pelipur lara orang-orang Cina awal yang datang ke Jakarta, terutama di Tangerang. Baru kemudian diiringi instrumen lain seperti kenongan.

Kisah tentang para pemain gambang ini pernah difilmkan dengan judul Anak Naga Melahirkan Naga. Film ini bertutur tentang para pemain dan penyanyi gambang kromong yang sudah tidak memiliki penggemar lagi. Mereka kini menjalani hidup sebagai pekerja buruh kasar, membuka warung kecil, tukang tambal ban, dan bebepa pekerjaan lain yang upahnya tak seberapa. Masa kejayaan mereka sebagai seniman gambang sedang dalam masa kematian. Usia mereka rata-rata di atas 60 tahun.

Tampaknya, musik tradisi memang harus ikut arus dalam pergulatan zaman. Seperti Mahagenta yang masih mencoba bertahan, mengolah kekayaan tradisi menjadi khasanah yang layak diperdagangkan. Simak salah satu syair yang mereka bawakan:

Tolong ambilin sapu
buat nyapu pelataran
perawan siape duduk di pintu
bikin abang penasaran

Image hosted by Photobucket.com

2 comments