Tuesday, January 09, 2007 | 7:05 PM

wanci


Tahun baru sudah lewat. Tapi hujan belum juga turun. Musim kali ini memang sedang tidak bersahabat. Ini istilah yang banyak diucapkan orang untuk mengutuk pada cuaca yang tidak menyenangkan.

Padahal, biasanya, semenjak memasuki Natal hingga tahun baru, dan disusul dengan tahun baru Imlek, hujan akan terus turun dan suhu menjadi lebih dingin. Tapi yang terjadi justeru sebaliknya. Cuaca pula yang sering disebut menjadi biang kecelakaan transportasi yang kini sedang ramai. Ada kapal hilang dan perahu kapal tenggelam. Begitu pula dengan longsor dan banjir.

Banyak orang percaya bahwa perubahan suhu dan cuaca di bumi berkaitan dengan perilaku manusia. Ada benarnya. Semenjak menjadi dewasa, aku merasa kehilangan banyak cuaca yang dirasakan selama masih kanak-kanak. Ketika kecil di Bandung, ayahku selalu membangunkan aku dan saudara lain lebih pagi. Sebagai muslim, kami diharuskan sembahyang subuh. Tapi, bukan cuma itu, almarhum bapakku paling suka anak-anaknya lari pagi-pagi. "Sebagai anak muda, harus sehat,"katanya suatu ketika. Lama kelamaan aku memang menikmati bangun pagi (kebiasaan ini terus terbawa hingga sekarang), salah satunya karena hangatnya matahari pagi di Bandung. Sebelum matahari bersinar, akan didahului oleh cahaya merah yang oleh orang Sunda dinamakan balebat atau fajar. Balebat tanda bahwa hari akan terang dan mungkin hujan tidak bakal turun. Kala itu, awal 80-an, kabut masih suka turun di Bandung. Kadang-kadang kalau kita bicara akan keluar asap keputihan. Namun tak lama kemudian, matahari akan terus menghangat. Orang-orang biasanya menjemur diri. Saat itu biasa dinamakan wanci haneut moyan alias saat yang segar untuk berjemur. Wanci ini akan berakhir sampai pada pukul 8.

Di masyarakt pedesaan, berlalunya kehangatan pagi ini akan diikuti dengan saat pergi ke sawah atau ke ladang. Hingga mereka beristirahat untuk makan, kira-kira pukul 11, atau biasa dinamakan pecat sawed. Pecat sawed itu artinya melepas tali di leher kerbau yang digunakan untuk membajak oleh para petani.

Dan bila sore tiba, aku sering menyaksikan saat warna jingga memancar di bagian barat. Orang Sunda menyebutnya layung. Semburat yang menebarkan kesan teduh itu, sering dianggapp sebagai pertanda akan datangnya makhluk ghaib. Ada yang menyebutnya kerod, makhluk yang biasa menculik anak-anak yang berkeliaran menjelang maghrib. Dan, bila ada anak kecil yang hilang sore itu, orang-orang aka diminta mencarinya dengan cara memukul tampah. Pukulan tampah dari banyak orang akan mengusir kerod dan mengembalikan anak yang dicurinya. Katanya, anak yang hilang itu aka ditemukan di sebuah pohon berdaun lebat dalam keadaan linglung. Masyarakat Sunda menyebut sore yang anker itu dengan sebutan sandekala. Saat di mana makhkluk penculik anak dan penyebar penyakit datang. Saat ini juga sering disebut sareupna.

Usai Sandekala, akan tiba waktu maghrib di mana orang-orang tidak ada lagi yang meninggalkan rumah. Anak-anak sudah mulai beristirahat dari bermain, sehingga sering dinamakan wanci reureuh budak alias saat anak-anak beristirahat. Pada saat ini, bulan akan keluar. Dalam cuaca apapun, bulan biasanya tampak, meski hanya seujung kuku. Hingga sekarang, bila malam tiba, aku selalu berusaha menatap ke langit untuk melihat bentuk bulan. Bentuk itu juga akan menentukan penanggalan dalam perhitungan tahun hijriah. Aku masih bisa menebak hitungan itu dengan menatap bulan. Demikian pula dengan bintang yang biasanya muncul dengan berbagai nama. Saat sekolah dasar, aku sempat mempelajari rasi bintang dan melihat langsung bila malam tiba. Pengetahuan ini mulai terkikis, dan aku mulai lupa pelan-pelan.

Bila malam terasa lebih pekat diiringi dengan hembusan angin, biasanya aku bisa menebak, tanda bahwa malam itu hujan akan turun dengan lebat.

Pada malam-malam pula aku masih bisa menyaksikan ratusan kunang-kunang keluar dengan efek cahayanya. Kata sahibul hikayat, kunang-kunang itu adalah kuku mayat yang bergentayangan.

Aku merasakan, kearifan lokal yang diajarkan semasa kecil untuk melihat alam berikut wancinya membuat aku merasa bagian dari alam. Sayangnya, saat ini, aku dan termasuk jutaan orang lain terutama yang tinggal di kota besar secara tidak sadar tidak lagi berhubungan dengan alam. Ketika aku masih bekerja di salah satu gedung di kawasan SCBD di Sudirman, di sana aku tidak merasakan panas dan juga tidak merasa bila hujan sedang turun. Tahunya, bila kita menengok lewat jendela atau pas keluar ruangan. Bahkan, ada pengalaman seseorang yang tinggal di sebuah apartemen harus menelepon kawannya di luar apartamen hanya untuk menanyakan, apakah di luar hujan. Lama-lama aku sadar, kenyamanan untuk terhindar dari teriknya panas matahari dan derasnya hujan telah menjauhkan dari alam yang dulu sempat aku nikmati.

Meski masih tetap bangun pagi, tak banyak yang bisa merasakan hangatnya matahari pagi karena terhalang tembok bangunan. Begitu pula saat malam tiba, aku tak bisa dengan jelas melihat bulan lagi. Untuk memperkenalkan bulan dan bintang, sebuah mainan yang terbuat dari plastik ditempelkan di kamar bagi kedua anakku. Bila lampu dimatikan, otomatis bulan dan bintang mainan ini akan bercahaya. Hanya satu hal yang tidak bisa aku tunjukkan, saat kedua anakku bertanya: "kunang-kunang itu kayak apa sih?" Menyedihkan, bukan?

Image hosted by Photobucket.com

1 comments