Thursday, July 02, 2009 | 12:18 PM

Zarkasih


Namanya Zarkasih bin Zaini. Umurnya masih di bawah 50 tahun. Tak punya pekerjaan tetap, kecuali membantu mencarikan rumah atau tanah yang akan dijual. Bila sedang bernasib baik, dari penjual dia akan mendapatkan komisi 2,5 persen. Terkadang, pembeli pun memberikan persenan ala kadarnya. " Tapi sekarang lagi sulit, " ujarnya sambil duduk lemas di bangku halte depan bank BCA Kemandoran, tempat dia biasa mangkal.

Anak sulung, perempuan, sudah menikah dan tinggal bersama Zarkasih. Sebuah kamar yang dulu digunakan untuk warung, terpaksa diberikan menjadi kamar tempat anak dan menantu menetap. Zarkasih juga masih punya anak kecil yang masih duduk di bangku TK (Taman Kanak-kanak). "Biaya hidup tambah berat," keluhnya lagi.

Di halte yang ramai oleh tukang ojek dan pedagang koran itu, Zarkasih biasa kongkow untuk menghilangkan kebosanan bergelut dengan persoalan rumah tangga. "Sudah dua minggu ini, bini gak negor," tambahnya sambil nyengir. Dan Zarkasih yang sedang sepi objekan itu pun maklum. Sebab biaya hidup sehari-hari tak bisa menunggu.

"Ngobjek" adalah istilah yang biasa digunakan oleh orang-orang Kemanggisan kepada profesi yang digeluti Zarkasih. Profesi ini tak butuh keahlian khusus, hanya sedikit komunikasi kepada calon pembeli dan meyakinkan mereka bahwa rumah atau tanah yang akan dijual surat-suratnya beres. Tapi, menurut lelaki yang sejak muda ngobjek ini, terkadang "rezeki yang sudah di tenggorokan tak bisa ditelan". Artinya, ketika calon pembeli sudah setuju dengan harga dan barang yang ditawarkan, tapi di menit terakhir bisa batal hanya gara-gara ada surat yang dianggap bermasalah.

Ngobjek di kalangan masyarakat Betawi, terutama di sekitar Kemanggisan dan Palmerah, bisa dirunut ke masa awal tahun 1970-an, saat Jakarta mulai ramai dipadati para pendatang. Harga tanah mulai melonjak. Kebutuhan akan rumah dan gedung perkantoran terus meningkat. Di sinilah peran para calo mulai bermunculan, yakni penghubung antara calon pembeli dan penjual. Dari calo dan tukang ngobjek ini, dalam perkembangan kemudian lahir istilah broker. Istilah ini lebih keren dan memberi prestise. Selain karena memiliki kantor, cara menjaring pembeli pun dilakukan lewat iklan di koran atau spanduk.

Nasib Zarkasih jauh beda dengan para broker. Terkadang tukang ngobjek mengalami nasib tragis akibat pembagian komisi yang tidak merata di antara mereka sendiri. Suatu ketika, tiga orang tukang ngobjek mendapatkan komisi yang lumayan besar, mencapai Rp 5 juta. Dua yang lain hanya kebagian masing-masing Rp 500 ribu, dan sisa bagian terbesar diperoleh oleh seorang saja. Kesal dengan pembagian yang timpang ini, dua orang yang dongkol ini sepakat mendatangi dukun. Tujuannya hanya satu: memusnahkan si pembagi komisi yang dianggap serakah. Kabarnya, maksud ini berhasil, membuat si pembagi komisi sakit seumur hidup dan tidak bisa disembuhkan.

Saat objekan lagi sepi, Zarkasih pun harus rela bekerja apa saja. Menjadi tukang kebun, misalnya. Kebetulan ayah Zarkasih, Zaini, tukang kebun yang sudah sering dipanggil karena kepandaiannya menata tanaman.

Tanah di Kemanggisan, memang sudah merangkak naik. Kemanggisan bukan lagi kampung masa lalu ketika tukang ngobjek atau calo tanah bergentayangan mencari tanah warga yang dihargai Rp 1000 per meter persegi. Lalu, mereka menjualnya kepada pihak lain 10 kali lipat.

Kemanggisan sudah menjadi bagian dari metropolitan. Harga tanah dibandrol sesuai lokasi. Kampus yang berdiri megah tak jauh dari rumah penduduk, perkantoran yang terus dibuka, membuat harga rumah, tempat kost, dan tempat usaha, tak jauh beda dengan harga di tengah kota. Para tuan tanah, leluhur orang Kemanggisan yang dulu menjadi pemilik ribuan meter kebun dan sawah, kini tinggal cerita. Tragisnya, anak cucu para pemilik tanah itu, kini hidup dalam rumah petak yang dikontrak setiap bulan.

Image hosted by Photobucket.com

0 comments